Desain Ruangan Seorang Kolektor Batik

Desain Ruangan Seorang Kolektor Batik

Desain Ruangan Seorang Kolektor Batik
Sebuah rumah yang telah ditempati selama lebih dari 30 tahun, kolektor dan pengusaha batik Hartono Sumarsono (63) membagi ruang hidupnya dengan segala koleksi barang seni lain yang digandrunginya. Dari rumah itu pula, Hartono kemudian membagi kecintaannya yang besar pada batik melalui buku-buku batik karyanya. Dengan berbagi, dia menemukan bahagia.

Rumah yang ditinggali Hartono terletak di kawasan sibuk Karet, Kuningan, Jakarta. Rumahnya menempati lahan seluas lebih kurang 5.000 meter persegi, berbagi dengan mertua, dan rumah adik iparnya, serta gudang penyimpanan untuk perusahaan batik Kencana Ungu dan Citra Lawas yang dia kelola.

Sebuah rumah seluas lebih kurang 500 meter persegi yang dikerjakan arsitek tangan kanan dari pengusaha Ciputra. Hartono mengingatnya bernama Dedi. ”Ada orang Karet kenal, terus mertua ngobrol. Saya enggak tahu juga. Nah, dia itu pinter. Ini, kan, rumah dikasih angin-angin seluruhnya. Makanya adem,” kata Hartono.

Siang hari saat berada di dalam ruangan, udara tetap terasa sejuk meski rumah Hartono memiliki cukup banyak lorong kecil yang menghubungkan satu ruangan ke ruangan lain. Taman hijau di area dalam rumah makin menambah suasana segar. Begitu pula halaman depan yang luas, yang seolah ”memantulkan” langit yang membentang di atas rumah. Pada malam hari, jika langit cerah, bintang pasti terlihat indah dari halaman itu.

Meski sudah lebih dari 30 tahun ditinggali Hartono bersama istrinya, Herawati Tjokrosendjojo, rumah bercat pintu merah itu belum pernah diubah sekali pun. Meski begitu, bangunan rumah tetap terlihat kokoh, tidak ketinggalan zaman, serta nyaman ditinggali di antara kepungan gedung-gedung tinggi dan suara bising kendaraan bermotor. ”Saya suka rumah ini. Desainnya tak pernah ketinggalan zaman biarpun sudah lebih dari 30 tahun,” ujar Hartono.

Sehari-hari rumah itu tak pernah sepi. Banyak lalu lalang pegawai dengan kesibukannya masing-masing. Begitu pula Hartono yang sehari-hari sibuk membagi waktu antara bisnis batik dan kecintaannya pada benda seni yang menjadi koleksinya. Batik, porselen, lukisan, dan lainnya.

Beberapa tahun belakangan, kesibukan Hartono bertambah dengan menulis buku tentang batik. Sudah tiga buku lahir dari tangannya. Batik Pesisir Pusaka Indonesia (2011), Benang Raja: Menyimpul Keelokan Batik Pesisir (2013), dan Batik Garutan yang dirilis tahun ini. Buku terbarunya tentang batik jakarta, menurut rencana, dirilis pada Maret 2017.

”Kalau tentang batik jakarta ini saya berharap bisa mencurahkan kenangan saya tentang batik yang pernah diproduksi di Jakarta. Koleksinya tidak sebanyak batik lainnya, tapi menurut saya ini penting,” kata Hartono.

Kawasan Karet tempat keluarga mertuanya berdomisili itu dulu memang dikenal sebagai salah satu daerah perbatikan di Jakarta. Setelah menikah dan anaknya berusia satu tahun, Hartono memutuskan pindah ke Karet dari rumah lama mereka di Kemang.

”Saya tinggal di Karet sejak 1981. Tahun itu kawasan Karet sudah maju. Sangat beda dengan tahun 60-an, orang takut ke Karet karena masih banyak pohon dan kebon, terutama di kawasan Karet Sawah,” kata Hartono.

 Daerah seputar Karet kala itu merupakan sentra perbatikan. Daerah pembatikannya terutama berada di dekat sungai. ”Itu pembuangannya. Kalau orang membatik, kan, harus ada kali karena limbahnya banyak, perlu membuang air. Mertua beli tanah di sini kira-kira tahun 1965, lalu dibangun,” tuturnya.

Di lahan itu mertua Hartono mendirikan usaha batik. Di areal yang kini menjadi gudang penyimpanan batik dulunya adalah los untuk printing. ”Tahun 1992 ada peraturan enggak boleh bikin batik di sini. Terus minggir. Ke Cikarang di Jababeka dan Lippo City, Karawang Barat, lalu pindah ke Balaraja. Di Parung juga ada,” kata Hartono.

Lemari khusus


Laki-laki asal Cirebon, Jawa Barat, ini hijrah ke Jakarta tahun 1968. Ia tinggal bersama pamannya. Selain sekolah, ia menyambi bekerja bersama sang paman yang memiliki usaha batik di Pintu Air.

Meski sudah lama berdagang batik, perhatian serius Hartono pada batik dimulai 1980-an kala dia bertandang ke Jalan Surabaya berburu porselen yang menjadi kesukaannya. Hartono tergerak untuk mulai mengoleksi batik karena mendengar kabar dari pedagang antik di sana banyak batik berkualitas bagus dibawa ke luar negeri. ”Langsung, tuh, koleksi batik,” kenang Hartono.

Di rumahnya, barang-barang koleksinya itu ditempatkan di sebuah ruangan khusus. Untuk batik yang jumlahnya kira-kira saat ini ribuan lembar, ia menyimpannya di dalam lemari khusus.

Batik-batik itu akan dibuka dan dinikmati oleh Hartono kala ada teman yang berkunjung dan ingin melihat koleksi batiknya. Atau saat-saat dia berkutat mempersiapkan buku batiknya. ”Kalau ada yang rusak, bolong, ya, sedih juga,” ujar Hartono.

Hartono bertekad terus mengoleksi batik serta menuangkannya dalam buku-buku batik karyanya. ”Biar ada kenang-kenangan, ada memori dalam hidup saya,” katanya.

Buku, kata Hartono, menjadi media untuk berbagi. Dari setiap judul buku yang ia tulis, sebagian besar di antaranya dibagi-bagikan gratis agar orang Indonesia semakin mengenal batik. ”Kalau penerimanya senang, kan, berharga buat saya. Kebahagiaan saya di situ,” katanya seraya tersenyum.

Bagi Hartono, batik adalah cerminan budaya Indonesia yang sudah selayaknya jadi kebanggaan orang Indonesia. Ada di tempat lain, tetapi tak berkembang bagus seperti di Indonesia. ”Batik is Indonesia. Inilah yang bisa kita banggakan sebagai bangsa Indonesia,” kata Hartono.

Oleh : Dwi As Setianingsih, Kompas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Copyright © Desimasii. All rights reserved.